hindubaliasli

Elingang Agama druwene..!!!

sejarah buleleng

Tinggalkan komentar

 BULELENG DAN SEJARAHNYA

 GambarJAMAN KUNA:

JAMAN MAJAPAHIT:

Ki Gusti Panji Sakti, seorang yang dijuluki banyak nama: Ki Barak, Gde Pasekan, Gusti Panji, Ki Panji Sakti, Ki Gusti Anglurah Panji Sakti, yang berkonotasi tangguh – teguh, berjiwa pemimpin, merakyat, memiliki daya super natural – sakti, adalah pendiri kerajaan Buleleng di tahun 1660an. Sebelumnya wilayah Buleleng dikenal dengan nama Den Bukit. Masyarakat Bali Selatan jaman berkembangnya pengaruh Majapahit, Den Bukit dilihat sebagai “daerah nun disana dibalik bukit”. Daerah misterius, terra incognito, banyak pendatang silih berganti, bajak laut. Orang yang ingin tinggal menetap mereka menjauhi daerah pesisir, memilih tempat lebih ke tengah, ke wilayah sebelah Selatan. Maka itu wilayah di selatan bukit disebut Bali Tengah atau Bali Selatan.

Selama berkuasa di Den Bukit Panji Sakti sejak 1660an sampai 1697 sangat disegani kawan maupun  lawan. Dengan pasukan Gowak yang diorganisir bersama rakyat, beliau menguasai kerajaan Blambangan, Pasuruan, Jembrana. Hingga tahun 1690an Panji Sakti menikmati kejayaannya. 

Buleleng adalah nama puri yang dibangun Panji Sakti di tengah tegalan jagung gembal yang juga disebut juga buleleng. Letaknya tidak jauh dari sungai yang disebut juga tukad Buleleng. Purinya disebut Puri Buleleng. Puri yang yang lebih tua, terletak di desa Sangket yang dinamai puri Sukasada. Ki Gusti Panji sakti diperkirakan wafat tahun 1699 dengan meninggalkan banyak keturunan.

Namun sayang putra-putra Ki Gusti Panji Sakti mempunyai pikiran yang berbeda satu sama lain sehingga kerajaan Buleleng menjadi lemah. Kerajaan Buleleng terpecah belah. Akhirnya dikuasai kerajaan Mengwi, termasuk Blambangan. Lepas dari genggaman Mengwi kemudian tahun 1783 jatuh ke tangan kerajaan Karangasem. Sejak itu terjadi beberapa kali pergantian raja asal Karangasem. Salah seorang raja asal Karangasem yaitu I Gusti Gde Karang bertakhta sebagai raja Buleleng tahun 1806-1818. Sebagai raja Buleleng beliau juga menguasai kerajaan Karangasem dan Jembrana. Beliau dikenal berwatak keras dan curiga kepada bangsa asing. Memang pada jaman itu bangsa asing seperti Belanda dan Inggris ingin menguasai Bali melalui Buleleng dan Jembrana. 

Sir Stamford Raffles seorang Inggris jatuh cinta terhadap Bali, baik alam dan budayanya setelah sempat mengunjungi pulau mungil ini di tahun 1811. Setelah itu beliau datang lagi ke  Buleleng ingin bekerjasama dengan I Gusti Gde Karang untuk membangun kota pelabuhan dengan nama Singapura. Raffles tergiur melihat ramainya pelabuhan Buleleng dengan lokasi yang dilihatnya sangat strategis di antara kepulauan Nusantara. Memang Buleleng jaman itu sedang jayanya dari hasil monopoli candu dan penjualan budak.  Raja Buleleng I Gusti Gde Karang rupanya tertarik dengan rencana Raffles. Namun tidak bisa dilaksanakan, karena Raffles sendiri sangat menentang penjualan budak yang selama ini terus dilaksanakan oleh raja I Gusti Gde Karang. Diantara cinta dan dendam, tahun 1814 pihaknya membawa kapal perang Inggris ke Buleleng, namun tidak terjadi pertempuran.

Pada malam hari, Rebo tanggal 24 Nopember 1815 terjadi musibah bencana alam di Buleleng. Beberapa desa tertimbun lumpur dengan penghuninya, ada yang hanyut kearah laut bersama penduduknya.

Setelah itu I Gusti Gde Karang membuka lahan dan membangun istana baru, terletak di sebelah Barat jalan yang dinamai puri Singaraja. Puri baru itu berseberangan jalan dengan Puri Buleleng yang dibangun Ki Gusti Pandji Sakti. 

Baca asal usul nama Singaraja >>

Baca asal usul nama Indonesia >>

Pembangunan Puri Singaraja dilanjutkan oleh I Gusti Agung Paang, asal Karangasem. yang memerintah sejak 1818 sampai 1829.(Babad Buleleng, Prof. Worsley).

Kekuasaan Karangasem berakhir setelah pasukan perang kolonial Belanda menghancurkan benteng pertahanan Buleleng di Jagaraga pada tahun 1849. Dengan berkuasanya pemerintah kolonial / asing di Buleleng, sebagai pemerintahan yang masih dalam proses konsolidasi, maka dapat dibayangkan, suatu proses yang rumit berlangsung……

Bagaimana lahirnya sebuah babad, silahkan baca; Babad Buleleng dibedah

Babad Andul, Hans Hagerdal:

…. According to the Babad Andul this was done by inviting the manca agung to the royal centre at Singapura……(…Menurut Babad Andul  itu terjadi dengan mengundang manca agung ke pusat pemerintahan di Singapura….:)

Komentar penulis: Waktu Jembrana masih dibawah kerajaan  Buleleng tentang Manca Agung Jembrana bernama Brambangmurti mendapat undangan ke Singapura di Buleleng. Tidak mendapat penjelasan tahun berapa Babad Andul dibuat, dengan masih menyebut Singapura untuk Singaraja,  namun bisa diperkirakan sekitar 1850an. Mungkinkah benar dulunya bernama  Singpapura sebelum berganti menjadi Singaraja?? Kalau demikian  Raffles  memang benar berperan dan  perkiraan  Bill Dalton dalam bukunya Bali Handbook  makin mendekati kenyataan (baca di ruang hijau sebelah kiri). Namun perlu penelitian seksama oleh para akhli sejarah.. 

Lebih jauh, bilamana anda ingin mengetahui asal usul nama Indonesia riwayatnya begini:

Asal Usul Nama Indonesia

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsaTionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka”

dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Runtuhnya Kerajaan Bedahulu.

Seperti terbaca dalam pelbagai buku maupun babad, bahwa sebagai tonggak
sejarah Bali adalah peristiwa pada tahun 1343, pada waktu Maha Patih Gajah Mada
dalam usahanya untuk menguasai Bali. Kerajaan Bali waktu itu dipimpin oleh Sri
Gajah Waktra  alias Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang sangat perkasa dengan
para patih dan prajurit pilihan sudah merasa mampu, ingin punya kerajaan yang
lepas dari kekuasaan yang berpusat di Majapahit. Walaupun beliau sebenarnya
berasal dari Majapahit, namun ingin punya kerajaan sendiri yang berbeda, tidak
mau berada dibawah Majapahit. Karena Raja Bali Sri Astasura Ratna Bumi Banten
“tampil beda”, maka disebut “Raja Bedahulu” dan kerajaannya dinamakan
“Kerajaan Bedahulu”.
Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Sri Ratu Tribhuwanatunggadewi, tidak bisa
menerima adanya kerajaan saingan seperti kerajaan “Bedahulu”. Maka Patih Gajah
Mada berangkat ke Bali dengan pasukan pilihan dan menggempur Bali. Ternyata
memang kerajaan “Bedahulu” tidak mudah dikalahkan. Dalam bebarapa kali
penyerangan, Panglima Perang “Bedahulu” Ki Kebo Iwa akhirnya dapat dibinasakan
dengan cara tipu musliat yang cerdik dari Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan
Pasung Grigis, setelah kematian Kebo Iwa memutuskan untuk ikut bergabung dalam
pemerintahan bentukan Majapahit. Untuk menguji kesetiaan ia diperintahkan
memimpin pasukan Majapahit untuk menaklukkan kerajaan Sumbawa yang dipimpin
Raja Dedela Nata. Sumbawa berhasil ditaklukkan namun keduanya, baik Pasung
Grigis maupun Dedela Nata gugur dalam perang tanding.
Dengan lenyapnya kerajaan Bedahulu, maka selanjutnya Negara Bangsul (Bali)
diserahkan kepada Kyai Agung Pasek Gelgel dan Mpu Wijaksara yang dikenal
dengan nama Ki Patih Wulung yang selama kurang lebih 7 tahun terus berjuang
mengamankan Bali.
Karena merasa sudah selesai tugasnya, maka Patih Wulung dan Kyai Agung Pasek
Gelgel merasa perlu untuk datang ke Majapahit untuk melaporkan keberadaan Bali.
Setelah dirundingkan maka Patih Gajah Mada menganggap sudah waktunya
mencari seorang raja berasal dari kerajaan Majapahit untuk dinobatkan di Bali
sebagai Adipati. Untuk itu lalu dipilih yang terbaik di antara putra-putri Danghyang
Kapakisan yang tidak lain adalah Bagawanta kerajaan Majapahit, untuk mengisi
jabatan di daerah-daerah yang telah dikuasainya. Putra kepertama menjadi Adipati
di Blambangan, Putra kedua menjadi Adipati di Pasuruhan, Putra ketiga (putri)
menjadi Adipati di Sumbawa dan Putra keempat menjadi Adipati di Bali. Empat
bersaudara tersebut berasal dari keturunan Brahmana (Empu Soma Kapakisan)
yang telah diturunkan tingkat kebangsawanannya menjadi Ksatrya agar sesuai
menjabat sebagai Adipati.

Dalem Ketut Kresna Kapakisan Adipati Bali.
Sejak tahun 1350M yang menjadi Adipati atau Raja di Bali bergelar Dalem Ketut
Kresna Kapakisan. Istana beliau dibangun di Samprangan (sekarang Samplangan,
Gianyar) sebagai pusat pemerintahan, maka beliau diberikan gelar Dalem
Samprangan. Patih Gajah Mada melengkapi Dalem dengan beberapa benda
pusaka bertuah asal Majapahit, seperti Keris Ganja Dungkul dan kelengkapan
istana lainnya. Pemerintahan Dalem Samprangan didampingi oleh para Arya dari
Jawa seperti:  Arya Wang Bang ditempatkan di Samprangan, Arya Kanuruhan di
Tangkas, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Kutawaringin di
Klungkung, Arya Sentong di Carangsari, Arya Pamacekan di Bondalem, Arya Getas
di Tianyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Manguri, Arya Pangalasan.
Dalam pada itu, untuk mendukung pemerintahan Dalem Ketut Kresna Kapakisan,
warga I Gusti Pasek Gelgel yang sudah banyak jumlahnya diberikan tugas sebagai
Bendesa untuk memelihara parahyangan dan upacara yadnya di seluruh wilayah
Balidwipa. Untuk itu mereka diberikan areal tanah masing-masing dengan luas
tertentu untuk penghidupannya. Selain itu ada juga beberapa yang diangkat
sebagai prajurit dan pejabat di pemerintahan.
Dalem Ketut Kresna Kapakisan ternyata kurang memahami kondisi masyarakat Bali
yang pada umumnya telah mempunyai adat kebiasaan dan budaya masing-masing
wilayah, terutama dalam masyarakat Bali Mula. Pemerintahan Dalem Samprangan
dianggap terlalu sentralistik dengan menempatkan para Arya dari Wilwatikta
(Majapahit) sebagai wakil pemerintahan sampai di daerah-daerah dengan
penguasaan wilayah serta tanah dengan penduduknya yang diwajiban bayar upeti.
Maka timbul pemberontakan di pelbagai desa seperti: Batur, Cempaga, Songan,
Kedisan, Abang, Pinggon Muntig, Pludu, Kintamani, Srahi, Manikliu, Bonyoh, Taro,
Bajad, Sukawana. Juga desa Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekul
kuning, Garinten, Lokasrana, Puhan, Bulakan, Tulamben dan desa lainnya. Untuk
meredam gejolak di pelbagai pelosok wilayah, Patih Gajah Mada mendatangkan
Arya Gajah Para yang ditempatkan di Toya Anyar (Tianyar). Kemudian juga
menempatkan golongan Wesia yang bernama Tankober, Tankawur, Tan Mundur
untuk menjaga keamanan di Bali. Setelah itu kondisi keamanan menjadi lebih baik
sementara waktu.

Sri Nararya Kapakisan sebagai Perdana Menteri.
Pergolakan masih juga terjadi dan kondisi yang berkepanjangan ini membuat Sang
Adipati Dalem Kresna Kapakisan putus asa dan ingin meletakkan jabatan, bahkan
ingin kembali pulang ke Majapahit. Dalam keadaan demikian, maka segera dikirim
utusan ke Majapahit dipimpinan Patih Wulung untuk minta petunjuk Patih Gajah
Mada. Setelah mengadakan perundingan dengan Patih Wulung dan Kyai Agung
Pasek Gelgel, maka Patih Gajah Mada memutuskan untuk segera memerintahkan
Arya Kapakisan dari Kadiri untuk ikut ke Bali dan segera diangkat sebagai Patih
Agung kerajaan Bali. Pada tahun 1352M Arya Kapakisan diangkat oleh Patih Gajah
Mada sebagai Patih Agung setingkat Perdana Menteri kerajaan Bali. Adipati Dalem
Kresna Kapakisan sangat senang menyambut pengangkatan Sri Arya Kapakisan
sebagai Perdana Menteri sekaligus sebagai Penasehat Dalem.
Tahun 1380 Dalem Ketut Kresna Kapakisan wafat, beliau diganti oleh putra sulung
Sri Agra Samprangan yang sifatnya suka bersolek. Beliau kurang hirau pada
pemerintahan. Seringkali para Patih dan Punggawa menunggu lama di balairung
namun sia-sia karena Dalem tidak juga keluar. Karena demikian beliau dinamai
Dalem Ile.
Melihat keadaan demikian, Ki Gusti Kebon Tubuh berusaha mencari adik Dalem Ile
sebagai pengganti. Namun adiknya yang senang berjudi itu sulit ditemukan, selalu
berpindah tempat. Akhirnya ditemukan di desa Pandak, maka beliau disebut
dengan nama Ketut Ngulesir. Semula beliau menolak menggantikan Dalem Ile
sebagai Adipati, namun karena rayuan Ki Gusti Kebon Tubuh, akhirnya beliau mau
dinobatkan sebagai Adipati. Tetapi dengan permintaan agar beristana di Gelgel
yang disebut Swecapura, tidak lain adalah rumah kediaman Ki Gusti Kebon Tubuh.
Permintaan itu disetujui oleh Para Menteri dan para petinggi kerajaan. Sedangkan
Dalem Ile dibiarkan saja di Istana Samprangan.

Dari Samprangan pindah ke Gelgel.
Pusat pemerintahan ada di Gelgel, tidak lagi di Samprangan, dengan Adipati Dalem
Ketut Ngulesir atau lebih dikenal dengan nama Sri Smara Kapakisan, karena beliau
berwajah tampan. Dalam mengemudikan pemerintahan Sri Smara Kapakisan cukup
bijaksana karena membawa kemakmuran rakyat.
Perdana Menteri Sri Nararya Kapakisan juga pindah ke Gelgel membangun Puri
Kapatihan dekat istana Dalem. Setelah Sri Smara Kapakisan mangkat, beliau
diganti oleh Dalem Watu Renggong yang melanjutkan kebijakan pemerintahan
Gelgel sehingga kemakmuran rakyat merata  ke segala bidang kehidupan. Dalam
perkembangan pemerintahan di Gelgel, Dalem Waturenggong juga mengangkat
beberapa petinggi sesuai pilihannya sendiri.seperti Arya Ularan sebagai Panglima
Perang dengan pasukan Dulang Mangap yang terkenal tangguh. Dalem
Waturenggong memerintahkan Panglima Perang / Patih Arya Ularan untuk
menyerang Blambangan dan berhasil menang. Tetapi karena kekeliruannya
mendengar perintah Dalem, Patih Ularan disalahkan oleh Dalem dan disingkirkan ke
Den Bukit.
Setelah Perdana Menteri Sri Nararya Kapakisan wafat, digantikan oleh putranya
yang pertama bernama I Gusti Nyuh Aya sebagai Perdana Menteri. I Gusti Nyuh Aya
mempunyai sejumlah putra maupun putri. Sesudah datang waktunya, beliau diganti
oleh putra pertamanya,  bernama I Gusti Petandakan, kemudian di ganti oleh I Gusti
Batan Jeruk sebagai Perdana Menteri.
Sedangkan putra ke-enam I Gusti Nyuh Aya yang bernama I Gusti Cacaran yang
juga dikenal dengan nama I Gusti Ngurah Jelantik (I) tidak mempunyai jabatan
penting, memilih mengungsi ke desa Pesinggahan.

I Gusti Ngurah Jelantik sebagai Panglima Perang.
Untuk mengisi kekosongan jabatan, Dalem Waturenggong memanggil keturunan I
Gusti Cacaran yang bergelar I Gusti Ngurah Jelantik untuk kembali ke Gelgel
dengan diberi jabatan Panglima Perang. Dalem Watu Renggong yang wafat di
sekitar tahun 1551M yang diganti oleh putranya bernama Dalem Bekung. Pada
tahun 1597 Dalem Bekung memerintahkan Panglima Perang I Gusti Ngurah Jelantik
(III) untuk menumpas pemberontakan di Blambangan dan Pasuruhan. Dalam perang
tanding dengan sengaja beliau tidak membawa senjata (mamogol), dan itu memang
dengan sengaja dilakukan agar terbunuh dalam perang untuk tujuan menebus dosa
leluhurnya. Beliau gugur meninggalkan isteri yang sedang hamil. Ketika putranya
lahir diberi nama Jelantik Bogol atau I Gusti Ngurah Jelantik (IV).
Kemudian Dalem Bekung digantikan oleh Dalem Sagening. Pada tahun 1621 Dalem
Sagening memerintahkan I Gusti Ngurah Jelantik (IV /Bogol) untuk menundukkan
penguasa Nusa Penida, Ki Dalem Bungkut atau Dalem Dukut atau Dalem Nusa.
Dengan keris kaliliran yang dijuluki Ki Pencok Saang, I Gusti Ngurah Jelantik Bogol
dapat membinasakan Dalem Bungkut dengan cara ksatria. I Gusti Ngurah Jelantik
Bogol mendapat pujian dan penghargaan dari Dalem Sagening. Namun hal itu
menimbulkan perasaan iri pihak pejabat lain. I Gusti Ngurah Jelantik Bogol (IV)
diganti oleh I Gusti Ngurah Jelantik V. Kemudian pada waktunya I Gusti Ngurah
Jelantik V digantikan oleh I Gusti Ngurah Jelantik VI.

Kekuasaan Gelgel melemah.
Dalem Sagening wafat tahun 1624. Beliau digantikan oleh putranya bernama Dalem
di Made yang masih muda. Para petinggi kerajaan Gelgel waktu itu sibuk dengan
urusannya sendiri-sendiri sehingga daerah-daerah seperti Sumbawa, Lombok dan
Blambangan berangsur dikuasai pihak lain. Keadaan Bali juga mulai gawat. Tahun
1639 pasukan Sultan Agung dari kerajaan Mataram menyerang Bali. Namun berkat
kesigapan I Gusti Ngurah Jelantik (VI), ayahanda I Gusti Ngurah Panji Sakti,
pasukan Mataram dapat diusir begitu turun dari kapalnya di Pantai Kuta sehinga
musuh lari tunggang langgang pergi tidak kembali lagi. Peristiwa itu membuat iri hati
bertambah, sehingga menimbulkan intrik di pihak para petinggi kerajaan, terutama
dari Patih Agung I Gusti Agung Maruti yang terus mempengaruhi Dalem yang masih
muda itu agar meminta keris pusaka (kaliliran) milik I Gusti Ngurah Jelantik bernama
Ki Pencok Saang yang sangat bertuah, namun I Gusti Ngurah Jelantik secara tegas
tidak akan menyerahkan pusaka nenek moyangnya itu. I Gusti Ngurah Jelantik dan
keluarganya telah beberapa kali mendapat serangan pasukan bersenjata suruhan I
Gusti Agung Maruti untuk membunuhnya namun selalu gagal. Dasarnya adalah
bilamana I Gusti Agung Maruti memiliki keris pusaka itu nantinya bisa menguasai
Dalem dan bisa lebih leluasa mengambil alih kerajaan Gelgel. Sifat ingin berkuasa I
Gusti Agung Maruti itu menimbulkan kegelisahan sehingga banyak petinggi
kerajaan dan masyarakat meningglkan Gelgel dan mengungsi ke tempat aman,
menyebar ke pelosok desa di Bali. Diantaranyan banyak keluarga pindah ke Den
Bukit (Buleleng) dan mendapat perlindungan I Gusti Ngurah Panji Sakti.

I Gusti Agung Maruti merebut kekuasaan Dalem Gelgel.
Keinginan I Gusti Agung Maruti berhasil mengusir Dalem dan menguasai istana
Gelgel, kemudian pada tahun 1655 mengangkat dirinya sebagai penguasa kerajaan
Bali dengan nama Dalem Gelgel. Namun kedudukan I Gusti Agung Maruti sebagai
raja Bali atau Dalem Gelgel tidak diakui sehingga timbul beberapa penguasa
wilayah baru di Bali, seperti di wilayah Den Bukit dengan nama kerajaan Buleleng
yang dikuasai oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti. Selain itu muncul kerajaan
Karangasem, Bangli, Mengwi, Gianyar, Jembrana, Tabanan, Badung dan kerajaan
lainnya. Kekuasaan I Gusti Agung Maruti sebagai Dalem Gelgel berakhir tahun
1686 oleh serangan koalisi dengan gugurnya Panglima Perang pasukan I Gusti
Agung Maruti yang bernama Ki Dukut Kerta yang berhasil dibunuh oleh Ki
Tamblang Sampun, Panglima Perang I Gusti Ngurah Panji Sakti dari kerajaan
Buleleng.

Kekuasaan Dalem di Gelgel runtuh.
Walaupun I Gusti Agung Maruti telah melarikan diri namun kekuasaan Gelgel sudah
tidak mungkin dikembalikan lagi sebagai susuhan Bali. Pusat pemerintahan
berpindah ke Kelungkung yang disebut Semarapura dengan Dewa Agung Jambe
sebagai raja. Namun pemberontakan terjadi di seluruh Bali dengan beberapa
wilayah yang masing-masing berusaha membentuk negara sendiri.
I Gusti Anglurah Panji bertahan dengan keutuhan negara Buleleng.

 
   
 

Nama:

   
   
 
   
 

Email:

   
   
 
   
 

Alamat rumah:

   
   
 
 

Komentar:

 
       
   
 
         
 
                                 

Panji Sakti
Arya Kapakisan adalah keturunan Raja Bali, Sri Dharma Udayana Warmadewa dan
juga Raja-raja Kadiri – Jawa Timur: Sri Airlangga, putra sulung suami isteri Sri
Dharma Udayana – Gunapriya Dharmapatni – Sri Semarawijaya – Sri Kamesawara –
Sri Jayasabha – Sri Sastrajaya. Sedangkan di Bali, yang meneruskan sebagai raja
dinasti Warmadewa adalah putra bungsu Sri Dharma Udayana, yang bernama Sri
Anak Wungsu sampai tahun 1080. Arya Kapakisan yang dibawa (kemBali) ke Bali
oleh Patih Gajah Mada diberi julukan Satriyeng Kadiri.
Sedangkan I Gusti Anglurah Panji Sakti, beliau adalah keturunan Aryeng Kadiri
melalui I Gusti Ngurah Jelantik – Panglima Perang sejak pemerintahan Dalem
Waturenggong, melalui Arya Cacaran, Perdana Menteri I Gusti Nyuh Aya – Perdana
Menteri kerajaan Bali pada jaman Dalem Ketut Kresna Kapakisan. Leluhurnya
adalah Sri Airlangga Raja Kediri. Bilamana diteruskan juga akan mengarah ke Bali
melalui Raja Bali abad ke XI Sri Udayana Warmadewa. Maka dalam perjalanan
hidupnya penuh perjuangan membangun kerajaan di Den Bukit dan selalu
mengkaitkan Bali dengan Jawa (Timur). Pada waktu Panji sakti sempat ke Solo,
beliau melihat langsung bekas kerajaan Kadiri – Panjalu – Jenggala yang
memprihatinkan. Sekembali dari Solo dan Blambangan, beliau membangun istana
bernama Puri Buleleng yang kemudian menjadi Kerajaan Buleleng. Maka ada
perkiraan para peneliti sejarah, bahwa Panji Sakti membangun kerajaan Buleleng
bermaksud membangun kembali kerajaan leluhurnya.

Buleleng adalah Jenggala ( =jagung gembal, Latin= Sorghum vulgare).

Dalam kebijakan membangun kerajaan Buleleng, Panji Sakti berbekal pada suatu
bentuk berlandaskan cinta kasih yang diberikan kepadanya oleh ayahandanya, I
Gusti Ngurah Jelantik yang memberikan dua buah pusaka (heirloom) berbentuk
keris Ki Semang dan sebuah tulup Ki Tunjungtutur atau Ki Pangkajatattwa. Bekal
berikutnya adalah kesadaran, bahwa walau dirinya hanya anak seorang selir tetapi
secara tegas ayahandanya mengakuinya sebagai putranya sendiri. Bekal
berikutnya, konsekuensi dia anak yang disisihkan dari kalangan keluarganya di
kerajaan Gelgel, dalam usia belia dikirim ke wilayah Den Bukit, hidup di tengah
keluarga ibunya, Ni Pasek Gobleg, di desa Panji, tumbuh dalam pembinaan
pamannya, Ki Wayan Pasek.
Maka disebutkan, kerajaan Buleleng dibentuk dengan pola pemerintahan
kerakyatan dengan semangat megoakgoakan, anti hegemony dengan rehabilitasi
pemerintahan Gelgel yang dikuasai I Gusti Agung Maruti dan menjadi penguasa
lokal di Den Bukit, anti imperialisme dengan aliansi …
Sifat membela keluarga dan kerabat, seperti menyelamatkan keluarga Jelantik
(cucunda) keluar dari Gelgel yang runtuh dengan berpindah ke Blahbatuh dengan
pengawalan.
Dalam bidang spiritual, beliau mendalami ajaran “Kamahayanikan” yang kemudian
diberikannya kepada para sentana. Waktu piodalan di Pura Gedong di Blahbatuh,
selain memberi ajaran “Kamahayanikan”  dalam upacara “memeras cucu”, beliau
menyerahkan sebuah benda pusaka tulup Ki Tunjungtutur sebagai tanda pertalian
keluarga…..

I Gusti Anglurah Panji Sakti menjalani kehidupan sederhana dan akhirnya moksah di
puri Panji – Buleleng.

Penulis: hindubaliaslimadeedywirawan

pecinta hindu

Tinggalkan komentar